20.8.07

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (5)

Ada Pak Matsui di Buku Tamu
Sementara diskusi berlangsung, keluarga Dg.Tawang ternyata diam-diam menyiapkan makan siang untuk kami. Hampir semua bahan makanan utama adalah hasil sendiri. termasuk beras yang saya sendiri jarang memakannya. Beras Malino, sebuah varietas yang sejak dulu terkenal karena baunya yang harum dan butirnya yang besar. Varietas lokal yang hampir punah tergilas varietas unggul hasil persilangan dengan biaya besar. Tapi, Dg. Tawang tetap bertahan dengan varietas lokal itu.

Sembari makan, Dg. Tawang menyodorkan saya sebuah buku. Ternyata sebuah buku tamu. Inilah pertama kali saya melihat mereka menyediakan bukun tamu. Sayang saya tidak sempat mengetahui mengapa baru sekarang mereka menyiapkan buku tamu, padahal sudah ratusan tamu sebelumnya telah mendatangi tempat ini. Siapa yang mempunyai ide dan untuk apa mereka menyiapkannya.

Saya melihat ada nama Pak.Matsui di bukun tami, orang yang akrab dengan pelaku-pelaku PKPM. Dia mengunjungi kampung ini seminggu sebelumnya bersama 3 orang yang lain (yang konon dari Yogya). Dia adalah satu dari 5 nama yang ada di buku tersebut. Saya lupa apa yang Pak. Matsui tulis sebagai kesan di buku itu. Saya juga tidak sempat menanyakan kesan mereka terhadap kunjungan beliau itu. Saya sendiri ”mengenal” Pak. Matsui hampir 10 tahun lalu ketika masih berstatus sebagai JICA Expert untuk pembangunan daerah di Makassar. Sebagai seorang peminat Ilmu-Ilmu Lokal (Lokalogi) dan peneliti yang sangat menguasai Sulawesi, saya sudah bisa menduga-duga apa yang beliau rasakan ketika melihat kondisi Lengkese, sebuah kemandirian masyarakat dengan ilmu tacit yang banyak.

Listrik Tanpa Meteran
Diskusi kemudian dipindahkan ke posko pemantauan, sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu seluas kira-kira 2x3 meter, diatas tempat yang agak tinggi. Lebih tepat sebagai monumen, karena persis di bawah bangunan ini, tertimbun sebuah bangunan sekolah dasar. Masyarakat bercerita, bagaimana perubahan yang ada dalam 3 tahun terakhir. Bagaimana perubahan cara pandang pemerintah (lebih tepatnya aparat pemerintah, semisal kepala desa, camat dan wakil bupati atau pejabat setingkat kabupaten) terhadap keberadaan mereka di kampung yang sudah pernah dianggap tak berpenghuni lagi itu.

Listrik pun sudah mengalir kembali ke kampung setelah diputus PLN 3 tahun lalu. Listrik dipasang tanpa biaya sambung dan hanya membayar Rp.100.000 perbulan untuk semua rumah. Meski baru mengaliri 5 rumah dan tanpa meteran (watt meter), setidaknya itu adalah tanda bagi mereka bahwa keberadaan mereka sudah diakui oleh pemerintah.

Sekolah, yang dulu berstatus kelas jauh, kini dialihkan ke tempat lain. Dg. Tawang menyebutkan bahwa usaha untuk menghadirkan kembali sekolah tersebut sedang dirintis kembali. Meski urusannya terkendala kebijakan pemerintah, namun upaya itu sedang dipertimbangkan oleh pejabat terkait. Semoga saja, dalam kunjungan saya berikutnya sekolah itu sudah hadir kembali. Dan anak-anak tidak perlu berjalan 3-5 km ke ibu kota desa untuk sekolah, di sekolah bekas sanggar tani.

Tanah bekas longsoran pun yang dibawahnya tertimbun sawah-sawah mereka sudah diukur kembali oleh pemerintah. Pemerintah segera akan menerbitkan faktur pajak PBBnya. Sebuah bukti pengakuan baru akan eksistensi mereka. Namun sebuah program baru kembai terdengar. Kawasan itu akan diambil alih oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Daeng Tika mengatakan, ”bagi kami tidak masalah. Apapun keinginan pemerintah mengenai lokasi itu. Apa yang penting adalah kepastian. Kalau pemerintah mau ambil, silahkan, dan kami tidak akan mengolah lagi”. Di POSKO sendiri, peta kampung yang terbuat dari seng sudah terpasang lengkap dengan jalur evakuasi ke arah titik aman (safety point). Rupanya itu adalah petunjuk bagi orang luar yang datang ke desa ini. Tanpa peta, orang-orang Lengkese sudah sangat paham dengan informasi itu. Beberapa atap posko yang terbuat dari seng tidak terpasang rapi lagi. Katanya diterbangkan angin dan belum sempat di perbaiki kembali.

Pukul 14.30. Kami harus pulang. Malam nanti, kami harus meneruskan perjalan ke Kendari dengan pesawat malam. Disana, Pak Halim, Master Fasilitator kami sudah menunggu.
Satu yang pasti, Setelah 3 tahun, Tak ada lagi pertanyaan : ”Apakah masih akan terjadi longsor?”, sebagaimana pertanyaan yang selalu mereka ajukan ketika kami datang pertama kali 2 tahun yang lalu. Kelihatannya mereka sudah tidak lagi menganggap itu sebuah pertanyaan penting. Karena itu, sebuah issu analisis harus dilakukan kembali oleh fasilitator. *** bersambung. . .

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (4)



Memasuki Kampung Lengkese, sebagaimana biasa, penduduk yang kebetulan melihat kami menyapa dengan berteriak. Rupanya mereka baru saja menyelesaikan panen padi sawah untuk musim ini. Kami berhenti di Rumah Pak Iman S.Dg.Tawang, anak-anak LSM KP (Karang Puang) lebih sering menyebutnya POSKO, karena inilah tempat yang mereka sering pakai sebagai tempat berkumpul atau nginap ketika berada di kampung ini. Saya pun sudah 2 kali bermalam di rumah ini. Seperti biasa, keluarga yang hanya hidup berdua dengan isteri ini melayani kami dengan sangat baik. Anak-anaknya ada telah berkeluarga dan sekolah hidup di tempat lain. Kopi hangat manis ditambah dua sisir pisang lokal telah terhidang meski perbincangan belum dimulai. Saya membiarkan Pak. Shintani berdialog dengan penduduk setempat yang datang satu persatu ke rumah ini, ditemani dan sesekali menerjemahkan penjelasan masyarakat oleh anak-anak KP. Memang, mereka lebih senang menggunakan Bahasa Makassar, bahasa yang sehari-hari mereka pergunakan. Nampaknya penduduk Lengkese sudah sangat lancar menjawab berbagai pertanyaan orang yang datang ke kampung tersebut. Mungkin saja, beberapa pertanyaan diantaranya sudah berulang kali diajukan oleh orang yang berbeda yang datang dengan tujuan yang sama, yaitu mengetahui bagaimana longsor itu terjadi, bagaimana keadaan mereka sekarang dan bagaimana jika seandainya longsor itu terjadi lagi.

Sekitar 8 orang warga berkumpul setelah melihat bekas ban mobil kami di jalan kampung. Bekas injakan ban di jalan yang berlumpur memberi tanda bahwa kami sudah datang. Salah seorang diantaranya mengatakan ”mobil anda jalan terlalu ke kanan”. ”Kelihatannya anda pertama kali datang kesini. Mungkin anda takut dengan jurang yang ada disebelah kiri”, tanyanya ke pada sopir. Sopir pun mengiyakan tanpa ragu. Saya tidak tau, bagaimana mereka bisa menyimpulkan semua ini. Mobil, bahkan kendaraan roda dua pun sangat jarang menyentuh kampung. Dengan kalimat ’joke’, anak-anak KP sering memberi illustrasi, ’jangankan mobil, kudapun menangis baru bisa sampai ke Lengkese. Ya, semua itu hanya jadi masalah bagi kami, yang hanya sesekali datang. Sampai kunjungan saya yang sudah di atas 10 kali ini, tidak pernah sekalipun saya mendengar keluhan masyarakat tentang parahnya ”jalanan kuda” tersebut. Apalagi membayangkan mereka akan melakukan demo kepada pemerintah sebagaimana sering warga SulSel lakukan untuk mendesak perbaikan jalan umum yang sesungguhnya masih bagus.

Daeng Tika: “dimana Pak Wada sekarang?”
Sementara diskusi berlangsung, Dg. Tika, pria paruh baya, sang kepala kampung, datang. Ini lah satu dari beberapa tokoh kunci di kampung ini. Dia sudah beberapa kali hadir dalam kegiatan-kegiatan JICA dan PKPM sebagai nara sumber untuk menceritakan pengalamannya dalam menghadapi bencana atau mempersiapkan diri menghadapi bencana. Kegiatan terakhir, ketika dia diundang dalam sebuah simposium Disaster Management Bulan Maret yang lalu di Jakarta, yang dilaksanakan oleh JICA Indonesia Office. Pertama kali datang ke Jakarta adalah pengalaman khusus, tapi bagaimana dia menyampaikan pengalamannya dengan cara yang semakin lancar kepada para pelaku (LSM/Perguruan Tinggi) kegiatan pemulihan pasca bencana dari Yogyakarta (yang mengalami gempa tektonik tahun 2006 yang lalu) serta Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (Desember 2004) menjadi alasan lain untuk bangga dan terharu. Dan sebuah plakat dari JICA semakin membuat dia, sebagai wakil masyarakat dari kampung terpencil, semakin terharu. Tentu saja, rasa haru dan bangga bukanlah atas apa yang telah diberikan oleh JICA dan PKPM di masyarakat dimana dia tinggal, yang memang relatif tidak ada secara material, tapi disebabkan oleh pengakuan pihak luar bahwa apa yang mereka lakukan bisa menjadi contoh bagi masyarakat dimanapun yang pernah terkena bencana ataupun berisiko atas bencana di kemudian hari. Kembali fakta membuktikan, bahwa menyediakan input proyek yang besar bukanlah jaminan. Tapi fasilitasi ke arah mana masyarakat akan menuju menjadi faktor kunci. Mengenali karakter dasar dan issu utama adalah paling utama, meski tidak mudah.

Melihat saya datang bersama seorang Jepang, setelah berkenalan, dia kembali mengutarakan pertanyaan yang saya sudah dengar berkali-kali dimanapun saya bertemu dengan lelaki yang berumur sekitar 50an tahun ini. ”Dimana Pak Wada sekarang?”, dia bertanya. Dan sebagaimana biasa, saya hanya menjawab, ”beliau sekarang ada di India”. Saya sudah tau kenapa dia selalu menanyakan hal ini pertama kali setiap saya bertemu. Beberapa waktu lalu pernah, saya bertanya mengapa dia selalu menanyakan Pak. Wada dia dia hanya menjawab, ”dia orang pertama yang menyuruh kami tetap tinggal di kampung ini”.

Pak.Wada Nobuaki, aktifis NGO/NPO, sedang memimpin Somneed yang beroperasi setidaknya di 3 negara yaitu India, Nepal dan Jepang sendiri. Pengalamannya selama lebih dari 20 tahun dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan keterlibatannya dalam PKPM sebagai tenaga ahli, bukan saja menjadikannya sebagai Guru bagi kami pelaku PKPM tapi juga oleh masyarakat di berbagai tempat yang pernah dia kunjungi di Indonesia. Setidaknya, kami 2 kali menggunakan tempat ini sebagai lokasi belajar bagi pelatihan PKPM yang difasilitasi oleh Pak. Wada.

Issu tentang relokasi penduduk ke tempat lain berjarak 30 meter dari kampung ini, menjadi topik yang hangat diantara masyarakat pasba bencana. Pemerintah daerah menunjuk sebuah daerah yang dianggap aman untuk ditinggali. Pihak LSM pun berdiri di pihak yang mendukung kebijakan ini. Namun, setidaknya bagi 20 KK, kebijakan itu bukanlah jalan keluar yang baik. Lengkese adalah sebuah kampung tapi tidak semua wilayahnya mengandung resiko. Bencana memang menghabiskan hampir sepertiga lahan dan sumber mata pencaharian penduduk. Tapi bagi mereka, itu tidak berarti habis. Sebuah mekanisme tradisional yang disebut ”tesang” membuat mereka bisa mengelola dan mendayagunakan sumber daya yang masih tersisa untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka. ”Tesang” adalah sebuah mekanisme kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap dengan cara bagi hasil. Mekanisme sosial ini sudah hidup selama ratusan tahun. Meski tersisa hanya 1/3, namun semua itu masih mampu mendukung kehidupan penduduk yang bertahan di kampung ini.

Inilah cara pandang dasar bagi sebuah bencana, yang kerap melahirkan kebijakan prematur. Prematur karena dibuat tanpa analisa dan pengenalan fakta lapangan yang memadai. Bencana tanah longsor selalu melahirkan pandangan bahwa itu pasti disebabkan oleh illegal logging atau destructive logging. Di Lengkese, pandangan dasar seperti itu tidaklah benar. Karena longsor tersebut terjadi di daerah hulu yang sejak dulu kondisi alamnya tidak berubah. Sejak dulu tidak ada hutan lebat di gunung-gunung yang umumnya berlereng lebih dari 45 derajat. Wilayah Malino secara keseluruhan memang terjadi perubahan fungsi lahan dan hutan (yang umumnya hutan lindung). Banjir yang kerap melanda Makassar mungkin disebabkan oleh kondisi ini. Tapi bencana longsor yang terjadi di tahun 2004 lalu itu, bukanlah karena kerusakan hutan itu. Itu adalah gejala alam yang sudah disaksikan sendiri oleh penduduk bagian hulu sejak bertahun-tahun yang lalu.

Bencana longsor pasti menghabiskan seluruh sumber mata pencaharian dan karenanya penduduk harus dipindahkan, adalah sebuah cara pandang yang lain. Tapi Lengkese membuktikan bahwa tidak semua wilayahnya adalah berisiko. Beberapa titik yang sudah dideteksi sendiri oleh penduduk sebagai wilayah aman. Dan kearah sanalah mereka akan menuju jika bencana susulan itu terjadi. Karena itu, bukanlah resiko atau relokasi yang menjadi penting. Tidak ada yang mengetahui kapan bencana datang. Dan tidak ada seorangpun yang mampu menghalangi ketika bencana akan datang. Tapi bagaimana mereka menghadapi bencana itulah yang menjadi hal utama.

Saya terharu, ketika mengetahui bahwa salah seorang penduduk yang kehilangan semua sumber mata pencahariannya (sawah dan ternak) adalah sang Tokoh Dg. Tika sendiri. Dan setelah 3 tahun, tanpa putus asa dan keluhan, dia bekerja mengolah lahan orang lain dan kini dia kembali sudah mampu membeli sawah sendiri. inilah fakta, milyaran sumbangan yang kerap disampaikan kepada korban bencana di koran-koran, termasuk ketika bencana longsor ini terjadi di Lengkese, tidaklah berarti apa-apa untuk memulihkan mata pencaharian penduduk. Lengkese adalah sebuah pengecualian. Sebuah ”bak penampungan air” yang disumbangkan oleh sebuah LSM International di Lengkese pasca bencana, justru tidak pernah sama sekali digunakan oleh penduduk.
Diskusi antara Pak Shintani berlangsung hangat. Anak-anak KP memberi penjelasan sesuai dengan apa yang ditanyakan. Beliau seringkali menekankan pertanyaan pada bagaimana hubungan antara sikap dan kegiatan masyarakat untuk bertahan di kampung ini dengan kebijakan pemerintah untuk relokasi. Saya melihat beliau bisa mengerti mengapa ”masyarakat tidak mau pergi dari Lengkese”, meski relokasi itu sudah diputuskan oleh Pemerintah Daerah. Sekitar 10 KK sudah kembali ke Lengkese justru dari daerah relokasi. Konon, fasilitas yang dijanjikan tidak sesuai dengan kenyataan. ***bersambung. . .

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (3)

Ashar Karateng, Program Officer di JICA Makassar Field Office (MFO) dan anggota Jaringan Smile-Link Program. Menjadi Tenaga Ahli dalam Proyek PKPM (Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat), kerjasama antara Bappenas dan JICA selama 3 tahun (2004-2006). Sebagai bagian dari tugasnya, dia berkesempatan kembali untuk mengunjungi beberapa desa/kampung di Sulsel dan Sultra pada pekan kedua Bulan Juni 2007, dimana pelaku-pelaku PKPM pernah dan sedang berperan dalam kegiatan fasilitasi inisiatif-inisiatif komunitas. Berikut ini catatan perjalanannya yang dituliskannya secara bersambung.



Jembatan Daraha : yang terputus ke-6 kalinya


Sejenak singgah menjemput 3 orang aktifis LSM lokal bernama Lembaga Pemerhati Lingkungan (LPL) Karang Puang di Malino, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Lengkese, melalui sebuah jalan kabupaten ke arah kanan dari jalan utama. Mereka adalah Ato, bersama 2 orang lainnya yaitu Ichot dan Jarre. Dalam proyek PKPM, kami menyebut mereka sebagai fasilitator lokal. Merekalah yang menjadi ”mitra” utama Pak. Angga di lapangan.

Kali ini kami beruntung. Mobil Ford Ranger berkekuatan 3000cc yang kami pakai bisa melewati sungai dengan mulus. Jembatan Daraha yang baru sudah terbangun setelah jembatan terakhir hilang diterjang arus Bulan February yang lalu. ”Inilah jembatan ke 6 yang dibangun sejak longsor terjadi”. Jelas Ato. Jembatan sekarang dirancang sebagai jembatan tenggelam, artinya ketika volume air sungai meningkat, tinggal menunggu air surut, jembatan tidak akan rusak dan orang-orang bisa menggunakannya kembali. Konon, jembatan ke 5, dibangun dengan biaya kurang lebih 4 Milyar rupiah, bertahan selama 7 bulan dan hilang diterjang batu dan terbawa air hanya dalam hitungan menit. ”Inilah jembatan terkokoh dan terkuat yang pernah saya liat sepanjang hidup saya”, kata Ichot. ”Tidak pernah dibayangkan kalau jembatan tersebut masih bisa terbawa air, bahkan dalam hitungan menit”, tambahnya. Tapi itulah faktanya. Meski longsor sudah lebih dari 3 tahun, tapi masalah ikutannya belumlah selesai. Jembatan Daraha ini, menjadi satu-satunya penghubung antara ibu kota kecamatan dengan 6 desa yang terletak di dua kecamatan.


Melewati sungai, kembali kami menjemput Pak Hakim, seorang staff LPL-KP yang lain yang sudah menunggu di Majannang, sebuah ibu kota desa lain yang dilewati. Mobil kami yang mestinya hanya ditumpangi 3 orang penumpang kali ini dinaiki oleh 6 orang. Terpaksa 3 orang diantaranya harus naik di bak terbuka bagian belakang mobil yang tergolong kelas pick up ini. Kira-kira 1 km menjelang perbatasan kampung, kembali kami harus berhenti untuk memberi tumpangan kepada seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahun bersama anaknya yang sedang memikul 2 zak semen. Dia, rupanya penduduk Lengkese yang belum saya kenal. Tapi anak-anak KP sudah akrab dengannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kantong zemen seberat 50 kg per zak itu harus dipikul dijalan menanjak dan berbatu oleh orang seumur dia.
Tak banyak panorama yang berubah diperjalanan, kecuali jalan yang kami lalui harus memutar, karena jalan biasa telah terkikis air sungai hingga tak bisa dilewati kendaraan roda empat lagi, dan sticker seorang calon gubernur sedang tersenyum tertempel dimana-mana, seolah-olah merayu pemilih dari kampung-kampung untuk memihak padanya dalam PILGUB Nopember mendatang. ***bersambung. . .

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (2)

Selasa 12 Juni 2007, berangkat Jam 08.00 pagi dari Makassar menuju Malino. Kali ini, datang sebagai Program Officer di JICA MFO (Makassar Field Office) tempat saya bergabung (maksudnya bekerja) dalam 6 bulan terakhir, untuk menemani seorang anggota Preliminary Study Mission JICA, Mr. Shintani Naoyuki atas sebuah project baru di JICA. Pak Shintani sudah bekerja di Indonesia selama hampir 10 tahun sebagai tenaga ahli dalam pembangunan daerah. Tujuan kunjungan utamanya adalah melihat bagaimana perkembangan terakhir, wilayah/lokasi/masyarakat yang pernah menjadi site proyek-proyek JICA sebelumnya, termasuk PKPM.

Bagaimanapun, Lengkese telah menjadi tempat yang sangat berharga bagi PKPM, sebuah proyek yang bekerja lebih banyak pada pengembangan fasilitator komunitas, proyek dimana saya bekerja sekaligus belajar selama hampir 3 tahun dari banyak guru hebat bersama sejumlah aktifis LSM senior dan staff pemerintah daerah yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.

Saya bukanlah saksi bagaimana tanah longsor itu terjadi 3 tahun lalu. Saya juga bukanlah fasilitator yang bekerja untuk masyarakat ini secara langsung. Tapi setidaknya saya menjadi saksi, bagaimana perubahan sebuah masyarakat terjadi, karena proses fasilitasi yang tepat dilakukan oleh seorang fasilitator komunitas. Kebetulan saja, Pak. Angga, sapaan sang fasilitator tersebut, sedang menjadi pelaku utama dalam PKPM. Dia, salah satu yang menjadi peserta dalam pelatihan2 yang kami lakukan, yang kemudian kami sebut ”Master Facilitator”. Sebuah istilah yang bermakna ganda, menunjukkan ”kapasitas” sekaligus menunjukkan ”fungsi” yang vital dalam pemberdayaan masyarakat. Saat yang sama, meski mungkin hanya sebuah ”klaim”, mereka adalah produk sebuah proyek technical assistance dari JICA di Indonesia. Memang hanya sebuah ”klaim” karena mereka di produk oleh pengalamannya sendiri. Pak Angga tidak menyertai perjalanan kali ini sebagaimana biasanya. Dia –bersama Pak Aziz--, pada saat yang sama sedang mendukung kegiatan pengembangan kapasitas di NTB yang dilaksanakan oleh YMP, sebuah LSM lokal yang dimotori oleh Ibu Ellena, seorang Master Fasilitator PKPM yang lain.

Bendungan Bili-Bili
Menelusuri jalan sepanjang kurang lebih 90 km ke arah timur laut Makassar menuju Malino, kali ini terasa lebih berat. Beberapa ruas jalan dipenuhi lubang besar. Nampaknya kondisi jalan semakin memburuk di akhir musim penghujan tahun ini. Itulah mengapa waktu tempuh mencapai 2 jam diatas biasanya yang hanya paling lama 1.5 jam. Tidak ada yang berubah dalam perjalanan kecuali kondisi jalan yang semakin memburuk. Truk-truk besar pengakut pasir/kerikil tetap saja merajai jalanan. Material tersebut mereka ambil dengan menggunakan alat-alat berat (heavy equipment) di daerah sekitar Bili-Bili. Ini adalah sebuah DAM serbaguna yang dibangun atas dukungan JICA dan JBIC untuk menjadi salah satu sumber air bersih Kota Makassar dan sekitarnya sebagai Ibu Kota Propinsi. DAM –yang pembangunannya menenggelamkan 6 desa-- inilah yang menjadi penampung luberan tanah longsoran dari Gunung Bawakaraeng tersebut. Masalahnya adalah, daya tampung lumpur DAM ada batasnya. Secara tekhnis, lumpur yang bisa ditampung maksimal 29 Juta meter kubik, setelah itu bendungan akan kehilangan fungsi. Setiap musim hujan, lumpur selalu bergerak dan mengalir ke arah hilir menambah endapan lumpur di waduk. Diperkirakan 5 juta meter kubik lumpur yang dikirim oleh peristiwa longsor tahun 2004 ke dalam bendungan ini, meski juga sudah dibangun sandpocket (kantung pasir) di daerah aliran sungai bagian hulu untuk menghalangi kuatnya aliran material. Itulah mengapa, banyak kalangan memperkirakan bahwa umur tekhnis bendungan akan berkurang dari 50 tahun menjadi hanya 15 tahun saja. ***bersambung. . .

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (1)

Ashar Karateng, Program Officer di JICA Makassar Field Office (MFO) dan anggota Jaringan Smile-Link Program. Menjadi Tenaga Ahli dalam Proyek PKPM (Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat), kerjasama antara Bappenas dan JICA selama 3 tahun (2004-2006). Sebagai bagian dari tugasnya, dia berkesempatan kembali untuk mengunjungi beberapa desa/kampung di Sulsel dan Sultra pada pekan kedua Bulan Juni 2007, dimana pelaku-pelaku PKPM pernah dan sedang berperan dalam kegiatan fasilitasi inisiatif-inisiatif komunitas. Berikut ini catatan perjalanannya yang dituliskannya secara bersambung. ******
Sudah lebih dari 3 tahun sejak bencana tanah longsor itu terjadi. Kejadian ini menimpa Kampung Lengkese, sebuah kampung tua yang terletak di ketinggian 1.800 meter (diatas permukaan laut) di Desa Manimbaho Kecamatan Parigi Kabupaten Gowa di Propinsi Sulawesi Selatan. Hanya 7 kilometer dari kaki Gunung Bawakaraeng, satu dari 3 gunung tertinggi di Sulawesi Selatan. Tidak ada catatan yang bisa memastikan sejak kapan kampung ini mulai dihuni.

Sahdan, sekitar tahun 1800-an, gunung setinggi 2.843 meter ini terakhir meletus dan dipercaya tidak aktif lagi hingga kini. Cerita tentang gunung berapi hanya menjadi dongeng secara turun temurun bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Malino, kawasan yang menjadi Ibu Kota kecamatan dan kerap menjadi daerah wisata alam bagi penduduk Makassar dan sekitarnya, bahwa mereka hidup dilokasi yang rawan bencana gunung berapi. Letusan terakhir dikisahkan menutupi hampir seluruh wilayah malino dengan hujan lahar. Itulah mengapa, mereka kemudian hidup aman tenteram, di lereng gunung tak jauh dari hulu Sungai Jeneberang tersebut, sebuah sungai tua yang punyai cerita kolosal.

Tanah longsor atau tanah tumbang?
Tanah longsor, atau orang setempat lebih menyukai istilah ”Tanah Tumbang” ini terjadi di siang hari tepatnya 26 Maret 2004 yang lalu. Hari itu hari Jumat, ketika sebagian besar penduduk pria masih berada di mesjid kecil yang ada di kampung itu selepas shalat Jumat, suara gemuruh tiba-tiba terdengar, dan dalam hitungan detik sebagian wilayah kampung telah tertimbun lumpur yang diperkirakan mencapai hampir 2 milyar kubik dan menutupi lembah sedalam 500 meter. Dari jumlah volume longsoran, kejadian di kampung yang terletak 10 km sebelah tenggara ibu kota Malino, sebuah tempat yang juga dikenal sebagai sentra penghasil buah2an dan holtikultura di Sulawesi Selatan, menjadi sebuah longsor terbesar di Indonesia yang pernah terjadi. Meski terbesar, longsor ini adalah hal yang lumrah, karena Gunung Bawakaraeng diapit oleh dua lembah yang dulunya adalah sungai besar. Lolosnya air yang berada di ketinggian menembus gunung itulah yang memicu terjadinya longsor. Penduduk setempat sendiri sudah menyaksikan adanya rekahan selama puluhan tahun di daerah hulu di kaki gunung yang hari demi hari semakin membesar.

Bagaimanapun masyarakat menamai kejadian tersebut, tanah tumbang atau tanah longsor, akibatnya tetaplah luar biasa. Hampir 6000an orang mengungsi, 33 orang tewas, 800 ekor ternak hilang, 12 unit rumah dan satu sekolah tertimbun, lebih 200 hektar lahan pertanian dan perkebunan tertimbun. Tak pelak, kampung yang semula memang hanya dihuni 70 KK tersisa 20 KK, selain meninggal, sebagian terpaksa pindah ke wilayah lain di desa tetangga, ataupun di sebuah wilayah baru yang mendadak di siapkan oleh pemerintah daerah. Meski tidak jelas bagaimana mengukurnya, pemerintah setempat memperkirakan kerugian sebesar Rp. 10 Milyar yang terjadi akibat kejadian longsor ini. ***bersambung. . .

8.7.07

Rudat Sebagai Media Pendidikan Komunitas (2)

Saat ini, dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap Pemakaian Rudat sebagai media sosialisasi Peraturan Desa Perlindungan Buruh Migrant Oleh ADBMI di 6 Desa dampingannya, ternyata cukup efektif. Karena Prinsip yang diterapkan dalam Pementasan ini adalah dari, oleh dan untuk Komunitas. Diman para pemain rudat merupakan masyarakat Desa setempat yang merupakan mantan BM, korban BM atau Keluarga Buruh Migrant. Dimana cerita yang dipentaskan juga diangkat dari profile kasus Desa setempat dengan bahasa lokal juga.

Sebelum pementasan dilakukan, bersama komunitas Buruh Migrant, ADBMI Lotim duduk bersama untuk merumuskan strategi dan langkah-langkah bersama, secara urut adalah :

1. Memetakan wajah masalah sosial Desa terkait dengan Migrasi menjadi Buruh ke Luar Negeri
2. Merumuskan kebutuhan informasi dan Pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk menterjemahkan istilah-istilah asing ke dalam bahasa Lokal.
3. mengemas kebutuhan Informasi dan pengetahuan (materi) yang terkandung dalam Peraturan Desa dalam bentuk script/Naskah pementasan yang sederhana sehingga mudah difahami masyarakat. Dimana proses dipandu oleh seorang fasiltator
4. Latihan Berbasis Naskah, Untuk mencapai harmonisasi musik dan alur cerita, dan semua pemain tahu perannya dan dialog .
5. Pementasan Media Seni Rudat untuk sosialisasi Peraturan Desa Perlindungan an Buruh Migran


Gender :
Kelebihan lain Media tradisional ini adalah, masyarakat tidak merasa sedang digurui, lebih relaks dan bersifat rekreatip. Sehingga cukup efektif untuk mengkampanyekan isyu-isyu yang relatip sensitip dan berpotensi menimbulkan gejolak, misalnya adalah isyu Gender. Seperti masyarakat Lombok yang menganut sistem Patriarki didukung oleh pemahaman umum terhadap ajaran agama yang salah menafsirkan soal relasi Perempuan dan Pria.
Dalam pengalaman ADBMI Lotim memakai rudat ini, isyu Gender dapat dikampanyekan dengan cara menyusun skenario yang menggambarkan ketimpangan gender pada masyarakat sekitar dan dampaknya. Memporsikan 50% dari pemain adalah kaum perempuan.


Hambatan :
High cost, dibutuhkan dukungan dana yang cukup tinggi untuk mementaskan Rudat ini. Rata-rata Rp. 4 Juta per sekali Pementasan. Dana itu diperlukan untuk sewa kostum pemain, alat musik tardisional. Dan jika dipentaskan di Desa yang tidak punya akses Listrik, maka dibutuhkan sewa Generator pembangkit listrik (pada jaman dahulu, untuk penerangan pementasan memakai Lampu Petromaks). Karena dipentaskan ditanah lapang dengan Jumlah penonton yang sangat besar, maka Sound system yang standard mesti disiapkan, sehingga dialog-dialog yang berisi materi kampanye/pendidikan itu dapat didengar dengan baik oleh penonton. Demikian juga dengan kebutuhan dekorasi panggung untuk menghadirkan suasana panggung yang mendukung skenario.

Hambatan lainnya adalah, sesuai kebiasaan Rudat dipentaskan setelah jam 00.00 Wita, sehingga anak-anak dan Perempuan juga ikut begadang. Namun, hal ini dapat diatasi dengan cara memajukan jadwal Pementasan menjadi Pukul 21.00 samapi 00.00 wita. Untuk itu, perubahan jadwal pementasan ini diumumkan 2-3 Hari sebelumnya dari mulut ke Mulut dan pengumuman oleh pnitia pada pertemuan dengan warga.
Kebanggaan Lain : Karena keberadaanya yang sangat genuine dan merupakan pontensi Lokal, salah satu kelompok Rudat dampingan ADBMI ini pernah diundang oleh KOMNAS Perempuan untuk ikut merayakan Migrant Day, Desember 2006 yang lalu dan pentas di depan Special Raporteur On Migrant Worker Rights Of United Nation, Prof. Gorge Bustamante. Sepulang dari Jakarta, kepercayaan Diri, semangat dan Kebanggaan Para Pemain bahwa upaya dan budaya mereka dihargai menjadi motivasi tersendiri bagi Mereka. (Roma Hidayat, ADBMI Lotim)

Roma Hidayat ***
Ketua Lembaga Advokasi Buruh Migrant Indonesia ADBMI Lombok Timur, sebuah lembaga yang konsern pada issu-issu Buruh Migrant dan Perdagangan Manusia.
Strategi : Penciptaan sistem Perlindungan Sosial dan Hukum Berbasis Desa.
Kegiatan : Pendidikan Bagi Komunitas BM, Konseling, Pendampingan Penyelesaian Kasus, Pemberdayaan Potensi.
Alamat :
ADBMI Lotim.
Jl. Diponegoro 27, Selong, Lotim, NTB
Indonesia
Telp/Fax : (0376) 21880

1.7.07

Rudat Sebagai Media Pendidikan Komunitas (1)

Rudat adalah salah satu dari produk seni Budaya milik Masyarakat sasak (etnis asli Penduduk Pulau Lombok). Berbentuk seni drama yang mempunyai skenario/jalan cerita sendiri (biasanya berlatar cerita kerajaan, namun belakangan mulai juga mengambil cerita keadaan sosial setempat), diselingi tari dan nyanyi tradisional. Sangat digemari oleh Masyarakat. Setiap kali pementasan selalu ramai dikunjungi oleh Penonton, yang tidak hanya datang dari Desa setempat dimana Pementasan Dilakukan, tapi juga dari Desa Kecamatan lain. Biasa dipentaskan untuk meramaikan Pesta Pernikahan, khitanan ataupun syukuran atas kesuksesan tertentu. Pementasannya sendiri Gratis, karena sudah dikontrak (tanggep, sasak) oleh Pemilik Hajat, serta merupakan prestise tersendiri bagi mereka yang dapat mengontrak bahwa dia mampu menyelenggarakan Pementasan Rudat di Pestanya. Untuk pementasannya dilakukan pada malam Hari, Pukul 00.00 Wita sampai Subuh, pagi hari. Dipercaya, Rudat ini adopsi dari Budaya Parsi (Timur Tengah) oleh pedagang-Pedang Islam melalui India, kemudian ke Semenanjung Melayu. Lalu oleh Pedagang dan Penyebar Islam Banjar, Kalimantan membawanya ke Lombok sebagai media Dakwah (Dakwah = Penyebaran Islam). Terdiri dari paling sedikit 25 Orang Pemain, terbagi dalam dua kelompok Besar, yaitu pemain musik pengiring 7-9 Orang dan sisanya Pemain Lakon yang berperan sebagai pemain drama.

Dalam struktur Masyarakat Sasak, Pemilik sekaligus pemimpin Rudat disebut Sekahe, merupakan guru spiritual dan Adat masyarkat, sehingga juga dipanggil dengan sebutan Guru. Sekahe/Guru ini memiliki Peranan dan posisi yang sangat strategis . Diposisikan sebagai Tokoh Masyarakat yang begitu ditaati secara luas. Sebagai ilustrrasi, orang tua yang memiliki anak gadis, akan merasa naik derajat sosialnya, Jika Sekahe mau mengawini anak Gadisnya. Meskipun untuk itu, anak Gadisnya akan menjadi istri kedua, ketiga atau keempat. Bahkan, Sang Orang tua rela membiayai Pesta nikah tersebut dan membiayai kehidupan sang Guru. Oleh karena, pengaruhnya yang luas ini, para Politisi dari berbagai macam Partai Politik berlomba-lomba mendekati Sekahe Rudat sebagai Vote Getter, pengumpul massa.

Melihat Konteks Sosial Ini. Tiga Tahun terkahir ini, ADBMI Lotim mencoba memanfaatkan Media-Media tradisional ini sebagai Media Sosialisasi/Kampanye dan Pendidikan Komunitas Pedesaan, termasuk juga menggunakan wayang kulit. Kesungguhan pemanfaatan Media Tradsisional, Rudat ini semakin menguat, karena berdasarkan hasil refleksi terhadap beberapa kegagalan program pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah dan NGO yang memakai pendekatan ”Orang-Orang Sekolahan”. Misal, Melakukan Sosialisasi/kampanye dengan memakai sticker, poster ataupun opini publik di Koran, yang sangat sulit dipahami oleh masyarakat, mengingat fakta bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dengan angka buta hurup (illiteracy) yang cukup tinggi. Jadi bagiamana mungkin memberikan bahan bacaan kepada mereka yang tidak bisa membaca. Atau memberikan presentasi dengan makalah-makalah yang tebal, yang tentu sulit dicerna oleh masyarakat, dengan istilah-istilah akademis yang tentu asing dan membosankan masyarakat. ...Bersambung (Roma Hidayat, ADBMI Lotim)

18.6.07

Cerita Pasca Kepergian Ke Jepang November 2006

Apa Yang dilakukan

1.Mendesiminasikan di berbagai forum cerita-cerita persahabatan yang terjadi antara Saya sebagai orang Gorontalo dengan orang-orang Jepang berdasar hasil kunjungan selama di Jepang..Antara lain Kesan menjadi Petani sayur di Desa Izushi, menjadi nara sumber di Pembelajarn i-i-net, Kiyoto Univ, Yokohama Int Fiesta, dsb. Termasuk pada satu sesi Training Disaster Management (DM) yang dilaksanakan pada bulan desember 2006, Materi yang saya sampaikan adalah tentang Pengalaman Kobe dalam penerapan konsep DM..

2.Sebagai upaya memperkenalkan konsep Belajar yang Murah & Menarik, dengan memanfaatkan momen Hari ULTAH LP2G, Kami Melakukan model berajar bersama dengan mengundang Pa MATSUI menjadi nara sumber dengan Thema “Mencari Ilmu Gorontalo”..

3.Dari sisi manajemen LP2G Kami mulai melakukan perbaikan manajemen internal dengan mengembangkan perbaikan system Keuangan Lembaga- menciptakan Kaderisasi termasuk penajaman Visi yang akan diperjuangkan oleh LP2G.. Sehingga sekarang ini muncul ide mengganti Kepanjangan nama LP2G dari Lembaga Pengkajian Pembangunan Gorontalo menjadi 1) Lembaga Pengembangan Persahabatan Global atau 2) Lembaga Pengembangan Partisipasi Global. Hal ini masih bersifat ide awal yang diharapkan bisa mendapat masukan dari kawan-kawan di Jepang.

4.Dalam konteks strategi pendampingan di-masyarakat, kami melakukan strategi baru yakni dengan memberikan peran yang cukup besar bagi Local leader yang menjadi sahabat kami di desa untuk dapat memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan program di Desa dan posisi Fasilitator LP2G,menjadi advisor terhadap kegiatan yang dilaksanakan dilapangan..

5.Menindaklanjuti kegiatan Teleconfrence antara orang-orang biasa Gorontalo & Orang-orang biasa di Jepang melalui Project SMILE-LINK antara LP2G & i-i Network. Dan hingga sekarang sudah 2 (dua) kali melaksanakan Teleconfrence antara mahasiswa Gorontalo & Jepang. Yang diharapkan kedepan akan lebih intens. Berupa Teleconfrence masyarakat sipil lainnya, antara lain Petani-Nelayan etc.


Dampak

Terbangun image sekaligus mendapat pengakuan public bahwa kekuatan jaringan LP2G dengan melakukan persahabatan dengan masyarakat jepang..
Juga secara pribadi pada akhir tahun 2006 mendapat Penghargaan MAN Of The Year Gorontalo kategori tokoh Gorontalo 2006 kategori NGO’s yang diberikan oleh Harian Tribun Gorontalo..
Termasuk pengakuan keberadaan LP2G yang disampaikan oleh Kepala Kesatuan Bangsa di media massa tentang peran NGO di Gorontalo, bahwa LP2G sebagai lembaga yang mandiri dan tidak tergantung pada pendanaan yang bersumber dari pemerintah..
Atas kondisi ini sekarang bisa kami sampaikan bahwa kesibukan kami sangat tinggi bahkan harus bekerja rata-rata 11 Jam Sehari dan terkadang saya harus tidur di kantor..hehehe.. (Arusdin Bone, LP2G)

6.6.07

Temuan Utama Interview Pelaku Pariwisata di Kuta dan Sanur

vol.2
Beberapa komentar para stakeholders berkaitan dengan keberadaan Polisi Pariwisata yang ada di Kuta dan Sanur sebagai berikut;

Lurah Kelurahan Kuta ( Made Suardika) ” Kuta ibarat tempat segala impian indah meski pada akhirnya berlumpur......persoalannya kompleks ,..... Tentang polisi saya belum begitu memahami secara jelas apa perbedaan peran Polisi Pariwisata, Polisi Air dan anggota Polsek.... Harapan saya kedepan penanganan pariwisata akan lebih baik bila kita bisa duduk bersama dan masing-masing kita bisa berbagi peran dan tanggung jawab....”

Kepala Desa Adat (Gusti Ketut Sudira) ”Pembangunan pariwisata Kuta sejak dulu perkembangannya berlangsung tanpa kontrol.... Baru setelah Bom Bali pertama, kami mulai menyadari itu. Untuk ikut terlibat menjaga Kuta yang persoalannya sudah terlanjur kompleks ini bisa terjaga dan tidak berkembang semakin semrawut .....berkaitan dengan Polisi Pariwisata saya masih melihat terkesan lamban dalam pengananganannya bahkan seringkali mengandalkan Polisi POLSEK, satu sisi turist biasanya mau ditangani secara cepat ”

Owner Hotel (Komang Mangku) ”Polisi Pariwisata hanya melakukan patroli di jalan area site kami, belum pernah masuk ke dalam diskotik, biasanya dengan hanya bertanya pada security kami mengenai situasi dan kondisi, sementara itu hubungan kami sebatas itu, memang akan lebih baik bila ada komunikasi yang lebih dalam antara satpam kami dengan pihak polisi pariwisata….”

Tantangan besar bagi Polisi Pariwisata adalah bagaimana mereka bisa mengamankan secara bersama-sama ketika tetap perlu menjaga visi, misi, dan tujuan Kepolisian. Beberapa PR yang perlu dilakukan untuk mendorong agar kebersamaan membangun pengamanan wilayah pariwisata khususnya di Kuta perlu dipikirkan beberapa ready-made pemgembangan kapasitas.

- Workshop (approach to other stakeholders, appeal to citizens, etc.)
Sebagai langkah awal sebelum melakukan workshop, Polisi Pariwisata diharapkan selama mengadakan perkunjungan atau patroli, tidak hanya menanyakan berkaitan dengan situasi pengamananan saja seperti yang dilakukan selama ini, tetapi perlu juga lebih dalam mengadakan pertemuan dengan semua pihak pelaku pengamanan di wilayahnya, cukup mengenal nama kemudian menindaklanjuti pertukaran informasi-informasi berkaitan dengan wilayahnya. Hal itu artinya kita tidak perlu secara terburu-buru membentuk suatu forum kemitraan apabila hubungan pertemuan antar pelaku pengamanan yang ada di satu wilayah belum terjalin secara dalam.

- Integrated Strategic Planning and Implementation
Kegiatan ini dibutuhkan agar semua pihak yang berkepentingan mengetahui apa peran dan fungsi masing-masing, apa yang bisa dilakukan sendiri oleh lembaganya, dan apa yang bisa dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan agar semua pihak dapat menjalankan perannya sesuai dengan visi & misi lembaganya, namun dalam kerangka pengamanan secara terpadu, siapa buat apa, diharapkan Polisi Pariwisata dapat berperan sebagai mediator / fasilitator untuk semua pihak yang berperan dalam pengamanan wisata baik yang dibentuk oleh pihak swasta maupun oleh masyarakat.

- Pendekatan Kepolisian Pariwisata
Dari sisi perkembangan Resort Sanur yang sejak lama sudah menyadari untuk berpikir bersama mengenai keberlanjutan pariwisata di Bali baik untuk mempertahankan budaya maupun untuk dapat menikmati perkembangan ekonomi dengan melakukan inisiatif masyarakat itu sendiri, sehingga pendekatan kepolisian diharapkan lebih bersifat mendorong dan memperkuat lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengamanan di Resort Sanur. Dalam hal ini lembaga-lembaga sasaran sudah dibentuk oleh pemerintah kelurahan dan desa adat. Sementara Resort Kuta, Polisi Pariwisata sedikit perlu lebih bekerja keras karena kebersamaan masyarakat untuk kegiatan pariwisata baru dimulai lebih intensif pasca Bom Bali. Sejak itu, Pemerintah kelurahan dan desa adat mulai serius dengan membentuk lembaga pengamanan pariwisata seperti satgas pantai, tim pengamanan pemuda, satgas Pasar, dll. Satgas tersebut perlu membangun kerjasama dan saling berkoordinasi. Untuk itulah, Polisi Pariwisata dapat berperan memfasilitasi keadaan ini.
(Fary Dj. Francsis, INCREASE)

27.5.07

Temuan Utama Interview Pelaku Pariwisata di Kuta dan Sanur

vol. 1
Kunjungan saya yang pertama pada Januari 2007 yang lebih fokus untuk mendapatkan gambaran secara langsung dari pihak manajemen proyek kepolisian pariwisata JICA-PORDA Bali dan juga para pelaku Kepolisian Pariwisata, dan telah menghasilkan beberapa rekomendasi saya, seperti perlunya membangun pertemanan Polisi Pariwisata dengan masyarakat lokal dan para pelaku pengamanan pariwisata.
Sebagai tindaklanjut dari kunjungan tersebut, kunjungan saya kali ini fokus untuk menemukan realita dari para pelaku pariwisata berkaitan dengan peran dan fungsi pelaku pengamanan pariwisata di Kuta dan Sanur. Selama 3 hari telah dilakukan Interview dan Diskusi dengan para stakeholders di sana. Pertanyaan awal yang ditanyakan berkaitan dengan peran dan fungsi dari masing-masing pihak, dan saya mencoba menanyakan apakah ada pelaku lain yang juga ikut mengamankan keamanan di wilayahnya. Karena keterbatasan waktu, tekanan temuan kali ini lebih melihat wilayah Kuta.


Point-point yang di Diskusikan
- Siapa saja pelaku pengamanan pariwisata dan siapa yang membentuknya diwilayahnya.
- Apa peran dan fungsi masing-masing pelaku pengamanan diwilayahnya.
- Bagaimana pembagian peran masing-masing pelaku pengamanan di wilayahnya.Apa bentuk kerjasama antar pelaku pengamanan di wilayahnya.

Anggota kepolisian pariwisata yang ditemui dapat menjelaskan peran dan fungsi ”siapa itu polisi pariwisata”. Saat ditanya berkaitan dengan siapa saja pelaku pengamanan selain kepolisian diwilayahnya dan berapa kekuatan anggotanya, walaupun tidak semua pihak pelaku pengamanan dapat disebutkan. Namun, secara umum pihak kepolisian mengetahui bahwa ada satuan tugas yang dibentuk oleh Desa Adat, namun tidak mengetahui secara pasti jumlah kekuatan masing-masing lembaga tersebut. Setelah saya konfirmasi ke pihak kelurahan mengenai siapa dan pihak mana saja yang membentuk para pelaku pengamanan pariwisata di Kuta, menurut informasi Lurah Kuta bahwa di Kuta saat ini terdapat paling sedikit 5 (lima) satgas yang dibentuk baik oleh pemerintah kelurahan, maupun desa adat serta LPM Kuta.

Berkaitan dengan peran dan fungsi dari masing-masing pelaku pengamanan tersebut pihak kepolisian dan juga pihak satpam hotel belum begitu jelas mengenai peran masing-masing pihak. Mereka hanya mengetahui peran seperti dari satgas pantai bertugas di wilayah pantai, sedangkan yang lain berperan di dataran. Saat ditanya apakah antara mereka seringkali melakukan komunikasi, mereka mengatakan hampir jarang sekali kecuali bila ada kejadian yang luar biasa.

to be continued...

(Fary Dj. Francsis, INCREASE)