1.7.07

Rudat Sebagai Media Pendidikan Komunitas (1)

Rudat adalah salah satu dari produk seni Budaya milik Masyarakat sasak (etnis asli Penduduk Pulau Lombok). Berbentuk seni drama yang mempunyai skenario/jalan cerita sendiri (biasanya berlatar cerita kerajaan, namun belakangan mulai juga mengambil cerita keadaan sosial setempat), diselingi tari dan nyanyi tradisional. Sangat digemari oleh Masyarakat. Setiap kali pementasan selalu ramai dikunjungi oleh Penonton, yang tidak hanya datang dari Desa setempat dimana Pementasan Dilakukan, tapi juga dari Desa Kecamatan lain. Biasa dipentaskan untuk meramaikan Pesta Pernikahan, khitanan ataupun syukuran atas kesuksesan tertentu. Pementasannya sendiri Gratis, karena sudah dikontrak (tanggep, sasak) oleh Pemilik Hajat, serta merupakan prestise tersendiri bagi mereka yang dapat mengontrak bahwa dia mampu menyelenggarakan Pementasan Rudat di Pestanya. Untuk pementasannya dilakukan pada malam Hari, Pukul 00.00 Wita sampai Subuh, pagi hari. Dipercaya, Rudat ini adopsi dari Budaya Parsi (Timur Tengah) oleh pedagang-Pedang Islam melalui India, kemudian ke Semenanjung Melayu. Lalu oleh Pedagang dan Penyebar Islam Banjar, Kalimantan membawanya ke Lombok sebagai media Dakwah (Dakwah = Penyebaran Islam). Terdiri dari paling sedikit 25 Orang Pemain, terbagi dalam dua kelompok Besar, yaitu pemain musik pengiring 7-9 Orang dan sisanya Pemain Lakon yang berperan sebagai pemain drama.

Dalam struktur Masyarakat Sasak, Pemilik sekaligus pemimpin Rudat disebut Sekahe, merupakan guru spiritual dan Adat masyarkat, sehingga juga dipanggil dengan sebutan Guru. Sekahe/Guru ini memiliki Peranan dan posisi yang sangat strategis . Diposisikan sebagai Tokoh Masyarakat yang begitu ditaati secara luas. Sebagai ilustrrasi, orang tua yang memiliki anak gadis, akan merasa naik derajat sosialnya, Jika Sekahe mau mengawini anak Gadisnya. Meskipun untuk itu, anak Gadisnya akan menjadi istri kedua, ketiga atau keempat. Bahkan, Sang Orang tua rela membiayai Pesta nikah tersebut dan membiayai kehidupan sang Guru. Oleh karena, pengaruhnya yang luas ini, para Politisi dari berbagai macam Partai Politik berlomba-lomba mendekati Sekahe Rudat sebagai Vote Getter, pengumpul massa.

Melihat Konteks Sosial Ini. Tiga Tahun terkahir ini, ADBMI Lotim mencoba memanfaatkan Media-Media tradisional ini sebagai Media Sosialisasi/Kampanye dan Pendidikan Komunitas Pedesaan, termasuk juga menggunakan wayang kulit. Kesungguhan pemanfaatan Media Tradsisional, Rudat ini semakin menguat, karena berdasarkan hasil refleksi terhadap beberapa kegagalan program pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah dan NGO yang memakai pendekatan ”Orang-Orang Sekolahan”. Misal, Melakukan Sosialisasi/kampanye dengan memakai sticker, poster ataupun opini publik di Koran, yang sangat sulit dipahami oleh masyarakat, mengingat fakta bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dengan angka buta hurup (illiteracy) yang cukup tinggi. Jadi bagiamana mungkin memberikan bahan bacaan kepada mereka yang tidak bisa membaca. Atau memberikan presentasi dengan makalah-makalah yang tebal, yang tentu sulit dicerna oleh masyarakat, dengan istilah-istilah akademis yang tentu asing dan membosankan masyarakat. ...Bersambung (Roma Hidayat, ADBMI Lotim)

1 comment:

Daeng KM said...

Apa kabar, Roma? Maaf tak sempat kontak. Saya terpaksa kembali ke Jepang dua kali karena ada tugas.

Menarik sekali tentang Rudut. Waktu belum ada media modern seperti TV, Radio atau Internet, di Jepang juga ada semacam media yang menyampaikan berita dan cerita masyarakat dengan bentuk yang lucu-lucu, seperti manzai.

Fungsi Rudut di Lombok rupanya sama dengan fungsi wayang di Jawa. Artinya, berbagai kalangan ingin memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.

Bagaimana seandainya LSM sendiri membuat Rudut sesudah latihan betul oleh ahlinya daripada numpang Rudut yang diajak oleh berbagai kalangan?

Tunggu cerita sambungnya. Salam.