20.8.07

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (1)

Ashar Karateng, Program Officer di JICA Makassar Field Office (MFO) dan anggota Jaringan Smile-Link Program. Menjadi Tenaga Ahli dalam Proyek PKPM (Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat), kerjasama antara Bappenas dan JICA selama 3 tahun (2004-2006). Sebagai bagian dari tugasnya, dia berkesempatan kembali untuk mengunjungi beberapa desa/kampung di Sulsel dan Sultra pada pekan kedua Bulan Juni 2007, dimana pelaku-pelaku PKPM pernah dan sedang berperan dalam kegiatan fasilitasi inisiatif-inisiatif komunitas. Berikut ini catatan perjalanannya yang dituliskannya secara bersambung. ******
Sudah lebih dari 3 tahun sejak bencana tanah longsor itu terjadi. Kejadian ini menimpa Kampung Lengkese, sebuah kampung tua yang terletak di ketinggian 1.800 meter (diatas permukaan laut) di Desa Manimbaho Kecamatan Parigi Kabupaten Gowa di Propinsi Sulawesi Selatan. Hanya 7 kilometer dari kaki Gunung Bawakaraeng, satu dari 3 gunung tertinggi di Sulawesi Selatan. Tidak ada catatan yang bisa memastikan sejak kapan kampung ini mulai dihuni.

Sahdan, sekitar tahun 1800-an, gunung setinggi 2.843 meter ini terakhir meletus dan dipercaya tidak aktif lagi hingga kini. Cerita tentang gunung berapi hanya menjadi dongeng secara turun temurun bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Malino, kawasan yang menjadi Ibu Kota kecamatan dan kerap menjadi daerah wisata alam bagi penduduk Makassar dan sekitarnya, bahwa mereka hidup dilokasi yang rawan bencana gunung berapi. Letusan terakhir dikisahkan menutupi hampir seluruh wilayah malino dengan hujan lahar. Itulah mengapa, mereka kemudian hidup aman tenteram, di lereng gunung tak jauh dari hulu Sungai Jeneberang tersebut, sebuah sungai tua yang punyai cerita kolosal.

Tanah longsor atau tanah tumbang?
Tanah longsor, atau orang setempat lebih menyukai istilah ”Tanah Tumbang” ini terjadi di siang hari tepatnya 26 Maret 2004 yang lalu. Hari itu hari Jumat, ketika sebagian besar penduduk pria masih berada di mesjid kecil yang ada di kampung itu selepas shalat Jumat, suara gemuruh tiba-tiba terdengar, dan dalam hitungan detik sebagian wilayah kampung telah tertimbun lumpur yang diperkirakan mencapai hampir 2 milyar kubik dan menutupi lembah sedalam 500 meter. Dari jumlah volume longsoran, kejadian di kampung yang terletak 10 km sebelah tenggara ibu kota Malino, sebuah tempat yang juga dikenal sebagai sentra penghasil buah2an dan holtikultura di Sulawesi Selatan, menjadi sebuah longsor terbesar di Indonesia yang pernah terjadi. Meski terbesar, longsor ini adalah hal yang lumrah, karena Gunung Bawakaraeng diapit oleh dua lembah yang dulunya adalah sungai besar. Lolosnya air yang berada di ketinggian menembus gunung itulah yang memicu terjadinya longsor. Penduduk setempat sendiri sudah menyaksikan adanya rekahan selama puluhan tahun di daerah hulu di kaki gunung yang hari demi hari semakin membesar.

Bagaimanapun masyarakat menamai kejadian tersebut, tanah tumbang atau tanah longsor, akibatnya tetaplah luar biasa. Hampir 6000an orang mengungsi, 33 orang tewas, 800 ekor ternak hilang, 12 unit rumah dan satu sekolah tertimbun, lebih 200 hektar lahan pertanian dan perkebunan tertimbun. Tak pelak, kampung yang semula memang hanya dihuni 70 KK tersisa 20 KK, selain meninggal, sebagian terpaksa pindah ke wilayah lain di desa tetangga, ataupun di sebuah wilayah baru yang mendadak di siapkan oleh pemerintah daerah. Meski tidak jelas bagaimana mengukurnya, pemerintah setempat memperkirakan kerugian sebesar Rp. 10 Milyar yang terjadi akibat kejadian longsor ini. ***bersambung. . .

No comments: