20.8.07

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (3)

Ashar Karateng, Program Officer di JICA Makassar Field Office (MFO) dan anggota Jaringan Smile-Link Program. Menjadi Tenaga Ahli dalam Proyek PKPM (Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat), kerjasama antara Bappenas dan JICA selama 3 tahun (2004-2006). Sebagai bagian dari tugasnya, dia berkesempatan kembali untuk mengunjungi beberapa desa/kampung di Sulsel dan Sultra pada pekan kedua Bulan Juni 2007, dimana pelaku-pelaku PKPM pernah dan sedang berperan dalam kegiatan fasilitasi inisiatif-inisiatif komunitas. Berikut ini catatan perjalanannya yang dituliskannya secara bersambung.



Jembatan Daraha : yang terputus ke-6 kalinya


Sejenak singgah menjemput 3 orang aktifis LSM lokal bernama Lembaga Pemerhati Lingkungan (LPL) Karang Puang di Malino, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Lengkese, melalui sebuah jalan kabupaten ke arah kanan dari jalan utama. Mereka adalah Ato, bersama 2 orang lainnya yaitu Ichot dan Jarre. Dalam proyek PKPM, kami menyebut mereka sebagai fasilitator lokal. Merekalah yang menjadi ”mitra” utama Pak. Angga di lapangan.

Kali ini kami beruntung. Mobil Ford Ranger berkekuatan 3000cc yang kami pakai bisa melewati sungai dengan mulus. Jembatan Daraha yang baru sudah terbangun setelah jembatan terakhir hilang diterjang arus Bulan February yang lalu. ”Inilah jembatan ke 6 yang dibangun sejak longsor terjadi”. Jelas Ato. Jembatan sekarang dirancang sebagai jembatan tenggelam, artinya ketika volume air sungai meningkat, tinggal menunggu air surut, jembatan tidak akan rusak dan orang-orang bisa menggunakannya kembali. Konon, jembatan ke 5, dibangun dengan biaya kurang lebih 4 Milyar rupiah, bertahan selama 7 bulan dan hilang diterjang batu dan terbawa air hanya dalam hitungan menit. ”Inilah jembatan terkokoh dan terkuat yang pernah saya liat sepanjang hidup saya”, kata Ichot. ”Tidak pernah dibayangkan kalau jembatan tersebut masih bisa terbawa air, bahkan dalam hitungan menit”, tambahnya. Tapi itulah faktanya. Meski longsor sudah lebih dari 3 tahun, tapi masalah ikutannya belumlah selesai. Jembatan Daraha ini, menjadi satu-satunya penghubung antara ibu kota kecamatan dengan 6 desa yang terletak di dua kecamatan.


Melewati sungai, kembali kami menjemput Pak Hakim, seorang staff LPL-KP yang lain yang sudah menunggu di Majannang, sebuah ibu kota desa lain yang dilewati. Mobil kami yang mestinya hanya ditumpangi 3 orang penumpang kali ini dinaiki oleh 6 orang. Terpaksa 3 orang diantaranya harus naik di bak terbuka bagian belakang mobil yang tergolong kelas pick up ini. Kira-kira 1 km menjelang perbatasan kampung, kembali kami harus berhenti untuk memberi tumpangan kepada seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahun bersama anaknya yang sedang memikul 2 zak semen. Dia, rupanya penduduk Lengkese yang belum saya kenal. Tapi anak-anak KP sudah akrab dengannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kantong zemen seberat 50 kg per zak itu harus dipikul dijalan menanjak dan berbatu oleh orang seumur dia.
Tak banyak panorama yang berubah diperjalanan, kecuali jalan yang kami lalui harus memutar, karena jalan biasa telah terkikis air sungai hingga tak bisa dilewati kendaraan roda empat lagi, dan sticker seorang calon gubernur sedang tersenyum tertempel dimana-mana, seolah-olah merayu pemilih dari kampung-kampung untuk memihak padanya dalam PILGUB Nopember mendatang. ***bersambung. . .

No comments: