20.8.07

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (2)

Selasa 12 Juni 2007, berangkat Jam 08.00 pagi dari Makassar menuju Malino. Kali ini, datang sebagai Program Officer di JICA MFO (Makassar Field Office) tempat saya bergabung (maksudnya bekerja) dalam 6 bulan terakhir, untuk menemani seorang anggota Preliminary Study Mission JICA, Mr. Shintani Naoyuki atas sebuah project baru di JICA. Pak Shintani sudah bekerja di Indonesia selama hampir 10 tahun sebagai tenaga ahli dalam pembangunan daerah. Tujuan kunjungan utamanya adalah melihat bagaimana perkembangan terakhir, wilayah/lokasi/masyarakat yang pernah menjadi site proyek-proyek JICA sebelumnya, termasuk PKPM.

Bagaimanapun, Lengkese telah menjadi tempat yang sangat berharga bagi PKPM, sebuah proyek yang bekerja lebih banyak pada pengembangan fasilitator komunitas, proyek dimana saya bekerja sekaligus belajar selama hampir 3 tahun dari banyak guru hebat bersama sejumlah aktifis LSM senior dan staff pemerintah daerah yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.

Saya bukanlah saksi bagaimana tanah longsor itu terjadi 3 tahun lalu. Saya juga bukanlah fasilitator yang bekerja untuk masyarakat ini secara langsung. Tapi setidaknya saya menjadi saksi, bagaimana perubahan sebuah masyarakat terjadi, karena proses fasilitasi yang tepat dilakukan oleh seorang fasilitator komunitas. Kebetulan saja, Pak. Angga, sapaan sang fasilitator tersebut, sedang menjadi pelaku utama dalam PKPM. Dia, salah satu yang menjadi peserta dalam pelatihan2 yang kami lakukan, yang kemudian kami sebut ”Master Facilitator”. Sebuah istilah yang bermakna ganda, menunjukkan ”kapasitas” sekaligus menunjukkan ”fungsi” yang vital dalam pemberdayaan masyarakat. Saat yang sama, meski mungkin hanya sebuah ”klaim”, mereka adalah produk sebuah proyek technical assistance dari JICA di Indonesia. Memang hanya sebuah ”klaim” karena mereka di produk oleh pengalamannya sendiri. Pak Angga tidak menyertai perjalanan kali ini sebagaimana biasanya. Dia –bersama Pak Aziz--, pada saat yang sama sedang mendukung kegiatan pengembangan kapasitas di NTB yang dilaksanakan oleh YMP, sebuah LSM lokal yang dimotori oleh Ibu Ellena, seorang Master Fasilitator PKPM yang lain.

Bendungan Bili-Bili
Menelusuri jalan sepanjang kurang lebih 90 km ke arah timur laut Makassar menuju Malino, kali ini terasa lebih berat. Beberapa ruas jalan dipenuhi lubang besar. Nampaknya kondisi jalan semakin memburuk di akhir musim penghujan tahun ini. Itulah mengapa waktu tempuh mencapai 2 jam diatas biasanya yang hanya paling lama 1.5 jam. Tidak ada yang berubah dalam perjalanan kecuali kondisi jalan yang semakin memburuk. Truk-truk besar pengakut pasir/kerikil tetap saja merajai jalanan. Material tersebut mereka ambil dengan menggunakan alat-alat berat (heavy equipment) di daerah sekitar Bili-Bili. Ini adalah sebuah DAM serbaguna yang dibangun atas dukungan JICA dan JBIC untuk menjadi salah satu sumber air bersih Kota Makassar dan sekitarnya sebagai Ibu Kota Propinsi. DAM –yang pembangunannya menenggelamkan 6 desa-- inilah yang menjadi penampung luberan tanah longsoran dari Gunung Bawakaraeng tersebut. Masalahnya adalah, daya tampung lumpur DAM ada batasnya. Secara tekhnis, lumpur yang bisa ditampung maksimal 29 Juta meter kubik, setelah itu bendungan akan kehilangan fungsi. Setiap musim hujan, lumpur selalu bergerak dan mengalir ke arah hilir menambah endapan lumpur di waduk. Diperkirakan 5 juta meter kubik lumpur yang dikirim oleh peristiwa longsor tahun 2004 ke dalam bendungan ini, meski juga sudah dibangun sandpocket (kantung pasir) di daerah aliran sungai bagian hulu untuk menghalangi kuatnya aliran material. Itulah mengapa, banyak kalangan memperkirakan bahwa umur tekhnis bendungan akan berkurang dari 50 tahun menjadi hanya 15 tahun saja. ***bersambung. . .

No comments: