20.8.07

Lengkese: Bangkit dari "Tanah Tumbang" (5)

Ada Pak Matsui di Buku Tamu
Sementara diskusi berlangsung, keluarga Dg.Tawang ternyata diam-diam menyiapkan makan siang untuk kami. Hampir semua bahan makanan utama adalah hasil sendiri. termasuk beras yang saya sendiri jarang memakannya. Beras Malino, sebuah varietas yang sejak dulu terkenal karena baunya yang harum dan butirnya yang besar. Varietas lokal yang hampir punah tergilas varietas unggul hasil persilangan dengan biaya besar. Tapi, Dg. Tawang tetap bertahan dengan varietas lokal itu.

Sembari makan, Dg. Tawang menyodorkan saya sebuah buku. Ternyata sebuah buku tamu. Inilah pertama kali saya melihat mereka menyediakan bukun tamu. Sayang saya tidak sempat mengetahui mengapa baru sekarang mereka menyiapkan buku tamu, padahal sudah ratusan tamu sebelumnya telah mendatangi tempat ini. Siapa yang mempunyai ide dan untuk apa mereka menyiapkannya.

Saya melihat ada nama Pak.Matsui di bukun tami, orang yang akrab dengan pelaku-pelaku PKPM. Dia mengunjungi kampung ini seminggu sebelumnya bersama 3 orang yang lain (yang konon dari Yogya). Dia adalah satu dari 5 nama yang ada di buku tersebut. Saya lupa apa yang Pak. Matsui tulis sebagai kesan di buku itu. Saya juga tidak sempat menanyakan kesan mereka terhadap kunjungan beliau itu. Saya sendiri ”mengenal” Pak. Matsui hampir 10 tahun lalu ketika masih berstatus sebagai JICA Expert untuk pembangunan daerah di Makassar. Sebagai seorang peminat Ilmu-Ilmu Lokal (Lokalogi) dan peneliti yang sangat menguasai Sulawesi, saya sudah bisa menduga-duga apa yang beliau rasakan ketika melihat kondisi Lengkese, sebuah kemandirian masyarakat dengan ilmu tacit yang banyak.

Listrik Tanpa Meteran
Diskusi kemudian dipindahkan ke posko pemantauan, sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu seluas kira-kira 2x3 meter, diatas tempat yang agak tinggi. Lebih tepat sebagai monumen, karena persis di bawah bangunan ini, tertimbun sebuah bangunan sekolah dasar. Masyarakat bercerita, bagaimana perubahan yang ada dalam 3 tahun terakhir. Bagaimana perubahan cara pandang pemerintah (lebih tepatnya aparat pemerintah, semisal kepala desa, camat dan wakil bupati atau pejabat setingkat kabupaten) terhadap keberadaan mereka di kampung yang sudah pernah dianggap tak berpenghuni lagi itu.

Listrik pun sudah mengalir kembali ke kampung setelah diputus PLN 3 tahun lalu. Listrik dipasang tanpa biaya sambung dan hanya membayar Rp.100.000 perbulan untuk semua rumah. Meski baru mengaliri 5 rumah dan tanpa meteran (watt meter), setidaknya itu adalah tanda bagi mereka bahwa keberadaan mereka sudah diakui oleh pemerintah.

Sekolah, yang dulu berstatus kelas jauh, kini dialihkan ke tempat lain. Dg. Tawang menyebutkan bahwa usaha untuk menghadirkan kembali sekolah tersebut sedang dirintis kembali. Meski urusannya terkendala kebijakan pemerintah, namun upaya itu sedang dipertimbangkan oleh pejabat terkait. Semoga saja, dalam kunjungan saya berikutnya sekolah itu sudah hadir kembali. Dan anak-anak tidak perlu berjalan 3-5 km ke ibu kota desa untuk sekolah, di sekolah bekas sanggar tani.

Tanah bekas longsoran pun yang dibawahnya tertimbun sawah-sawah mereka sudah diukur kembali oleh pemerintah. Pemerintah segera akan menerbitkan faktur pajak PBBnya. Sebuah bukti pengakuan baru akan eksistensi mereka. Namun sebuah program baru kembai terdengar. Kawasan itu akan diambil alih oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Daeng Tika mengatakan, ”bagi kami tidak masalah. Apapun keinginan pemerintah mengenai lokasi itu. Apa yang penting adalah kepastian. Kalau pemerintah mau ambil, silahkan, dan kami tidak akan mengolah lagi”. Di POSKO sendiri, peta kampung yang terbuat dari seng sudah terpasang lengkap dengan jalur evakuasi ke arah titik aman (safety point). Rupanya itu adalah petunjuk bagi orang luar yang datang ke desa ini. Tanpa peta, orang-orang Lengkese sudah sangat paham dengan informasi itu. Beberapa atap posko yang terbuat dari seng tidak terpasang rapi lagi. Katanya diterbangkan angin dan belum sempat di perbaiki kembali.

Pukul 14.30. Kami harus pulang. Malam nanti, kami harus meneruskan perjalan ke Kendari dengan pesawat malam. Disana, Pak Halim, Master Fasilitator kami sudah menunggu.
Satu yang pasti, Setelah 3 tahun, Tak ada lagi pertanyaan : ”Apakah masih akan terjadi longsor?”, sebagaimana pertanyaan yang selalu mereka ajukan ketika kami datang pertama kali 2 tahun yang lalu. Kelihatannya mereka sudah tidak lagi menganggap itu sebuah pertanyaan penting. Karena itu, sebuah issu analisis harus dilakukan kembali oleh fasilitator. *** bersambung. . .

3 comments:

Anonymous said...

изнасилование школьниц онлайн без кода смс http://free-3x.com/ студенческое порно видео смотреть free-3x.com/ подростки порно [url=http://free-3x.com/]free-3x.com[/url]

Anonymous said...

http://lumerkoz.edu best for you, http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-famciclovir liens jfergusonci http://www.sqlprof.com/members/Buy-Lamictal.aspx selections http://riderx.info/members/Buy-Diflucan-Online.aspx parasitic correa http://soundcloud.com/aldactone journeys http://www.ecometro.com/Community/members/Buy-Cephalexin.aspx azcentral commutes

Anonymous said...

http://lumerkoz.edu Do not panik! http://malgorz.com/members/Buy-Augmentin.aspx aberration barricading http://barborazychova.com/members/Buy-Lexapro.aspx furuyamamine http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-flagyl ghada http://soundcloud.com/buy-nifedipine sfgov privado http://talkingaboutwindows.com/members/Buy-Ciprofloxacin/default.aspx tattersall